Pengembangan Spiritualitas  SMA Sekolah Santo Yoseph

 

Konsep Spiritualitas Diri dalam doa bentuk yang dijalankan oleh individu agar mampu melakukan hubungan secara horisontal dengan sesama dan interaksi vertikal dengan Tuhan serta mewujudkan secara  terus menerus antara jiwa dengan Tuhan dalam setiap  perbuatan, pemikiran ataupun perasaan seperti pada upacara agama katolik, setiap hari minggu mereka menjalankan ibadah yang disebut misa.

Pengembangan Spiritualitas bertujuan untuk meningkatkan spiritualitas Kristiani yang dipahami bukan sebagai teori, tetapi sebagai jalan hidup yang ditempuh dengan penuh kesadaran. Untuk berbagi, melayani para peserta didik  SMA Santo Yoseph dalam bimbingan membantu gereja serta masyarakat luas dalam pengembangan spiritualitas dan ketrampilan pelayanan antara lain:

1.    Pembiasaan doa pagi sebelum aktivitas belajar dimulai.

2.    Pembiasaan doa, Doa Malaikat Tuhan (Angelus) tiap pukul 12.00 siang.

3.    Pembiasaan Ibadah  JUMAT PERTAMA setiap awal bulan.   

4.    Pembiasaan Perayaan Ekaristi pada awal tahun pembelajaran.

5.    Pembiasaan Perayaan Ekaristi perayaan hari Santo Pelindung.

6.    Pembiasaan Retret dan Rekoleksi setahun sekali.

 

Berdasarkan hakikat pembiasaan tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik membentuk aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu dimensi tersebut di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan.

Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang. Spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang. Spiritual adalah sesuatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama.

Kajian tentang spiritualitas adalah suatu kajian yang sangat penting karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya hasil korelasi yang negatif antara spiritualitas dengan tingkat stres, psikososial, kecemasan dan depresi (Ellison & Fan, 2008) dan berkorelasi positif dengan penilaian optimisme, dukungan sosial yang dirasakan, dan kepuasan dalam menjalani kehidupan (Kalkstein & Tower, 2009). Hasil penelitian lain dilakukan oleh Maselko & Kubzansky (2006) yang menemukan bahwa kegiatan keagamaan dan pengalaman spiritual berkorelasi secara signifikan dengan tingkat kesehatan mental dan kebahagiaan. Artinya semakin sering kegiatan keagamaan dilakukan maka semakin tinggi kemungkinan subjek tersebut untuk menjadi bahagia dalam hidupnya.

Oleh karena itu, pendidikan spiritual perlu memberikan ruang bagi peserta didik agar memiliki keterampilan perilaku budaya yang baik dan memadai. Wintz & Cooper (2001) menyebutkan beberapa keterampilan budaya yang perlu dimiliki diantaranya:

1.    Kemampuan berkomunikasi yang baik,

2.    Kemampuan  mengenali pertemuan lintas-budaya (kesadaran tinggi),

3.    Kemampuan menemukan kompromi kreatif untuk mencapai solusi yang memuaskan  semua pihak

Sebagai pendidik dan konselor, Wintz & Cooper (2001) menegaskan kepada kita perlunya memiliki kompetensi dan sensitifitas budaya.   Ada tiga hal yang perlu diingat ketika menyajikan sensitifitas budaya di bidang pelayanan klinik, diantaranya:

1.    Berbeda ialah berbeda, bukan mengenai benar dan salah;

2.    Saya tidak takut untuk bertanya, ketika saya merasa tidak nyaman;

3.    Ini bukan tentang saya,  sehingga kita tidak bisa menggunakan ukuran kita.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kompetensi budaya perlu dimiliki oleh pendidik dan juga peserta didik sebagai karakteristik dasar yang dimiliki oleh seorang individu yang berhubungan secara kausal dalam memenuhi kriteria yang diperlukan pada saat menduduki suatu jabatan.

Becker and Ulrich dalam Suparno (2005, p. 24) mengatakan bahwa kompetensi mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan (keahlian) dan kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang mempengaruhi kinerja. Powell (1997, p. 142) mengartikan kompetensi sebagai berikut

  1. Kecakapan, kemampuan, kompetensi; dan.

  2. Wewenang “kemampuan (ability) atau kapasitas seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu  pekerjaan, dimana kemampuan ini ditentukan oleh 2 (dua) faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.

 

Spencer, McClelland, & Spencer (1994) menyebut ada lima karakteristik yang membentuk kompetensi yakni :

  1. Pengetahuan meliputi masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan, dan sistem .

  2. Keterampilan; merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.

  3. Konsep diri dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa berhasil dalam suatu situasi.

  4. Karakteristik pribadi; merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan.

  5. Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor individu.